Tempat kumpulnya para penyuka Nabi Muhammad SAW,Lenin,Karl Marx,Soekarno,Che Guevara,Tan Malaka,Soe Hok Gie, Semeru
Minggu, 29 November 2009
Manusia Tan Malaka adalah contoh pemimpin yang berjuang dan melahirkan gagasan bernas untuk kesejahteraan bangsa tanpa pamrih. Secara sosiologis, Tan Malaka bukanlah seorang komunis, tetapi perantau yang telah dibekali dasar keislaman yang kuat dari alam Minangkabau. Sebagai perantau berpendidikan, ia berpikir dinamis, selalu mempertanyakan dan mencari gagasan baru untuk bangsanya yang sedang dijajah. Mempertanyakan adalah melakukan kritik tentang apa saja di luar logika dan kepatutan, dan karena itu pula Tan Malaka sangat percaya kepada kekuatan dialektika berpikir persoalan kemasyarakatan dapat dipecahkan dengan baik.
Bagi para pelajar Islam di Ranah Minang (Padang Panjang, Bukittinggi, dan Padang) yang gandrung perubahan tahun 1920-an dan masuknya pemikiran modern Islam Muhammad Abduh dan Kemal Ataturk dari Timur Tengah, rasionalitas gagasan Tan Malaka bagai yang ditunggu-tunggu. Pemuda dan pelajar memakainya sebagai upaya menentang penjajahan dan pemikiran kolot. Berpikir maju dan radikal ini bagaimanapun menimbulkan konflik di antara para tokoh pembaru pendidikan sebelumnya dan para pelajar Islam—dan para pakar menyebutnya para pelajar tersebut bagian dari Kiri-Islam dan tentu saja bukanlah berfaham komunis, atau sebagaimana komunisme yang kita persepsikan dewasa ini.
Sebagaimana dikatakan Hassan Hanafi al Yassar al Islam tentang Kiri-Islam, sebenarnya prinsip sosialisme yang ada dalam Al Quran dan Nabi Muhammad telah mengkhotbahkan sejak 12 abad sebelum Marx dilahirkan.
Sambutan luar biasa pelajar Thawalib di Sumatera Barat terhadap Tan Malakaisme tanpa kehadiran sosoknya di sana membuktikan juga adanya benang merah keislaman, keminangkabauan, dan Tan Malaka. Karena itulah Partai Rakyat Indonesia (Pari), Volksfront, Persatuan Perjuangan, adalah bagian sikap perjuangan pemuda di sana.
Ketidaksetujuan Tan Malaka terhadap pemberontakan Silungkang (1927) dan pemberontakan Banten (1926)—yang sesungguhnya adalah gerakan pemuda Kiri-Islam bercampur dengan unsur PKI—menunjukkan Tan Malaka sebenarnya lebih rasional dan bukanlah bagian dari PKI, sebagaimana yang dituduhkan Pemerintah Hindia Belanda.
”Madilog”
Dialektika berpikir itulah yang menjadi landasan berpikir Tan Malaka dalam buku Madilog (Materialisme-Dialektika-Logika). Katanya, logika dan dialektika bergantung pada materialisme, sebaliknya materialisme bersangkut paut dengan dialektika dan logika.
Matter atau benda memiliki sifat bergerak takluk pada hukum gerakan (dialektika) dan hukum berhenti, yakni logika. Dasar berpikir demikianlah yang membuat Tan Malaka berbeda pendapat dengan Stalin. Ia lebih menitikberatkan cara berpikir dalam berjuang. Cara berpikir yang dimaksud adalah dinamika hukum berpikir, suatu yang berubah mengikuti dialektika. Madilog merupakan cara berpikir untuk menjawab persoalan masyarakat tanpa dogma.
Jika Stalin menganggap pan-Islamisme merupakan bentuk kolonialisme, Tan Malaka membantahnya sebagai kekuatan dan ideologi. Menurut Tan Malaka, tidaklah perlu menerjemahkan pan-Islamisme sebagai urusan khalifah di dunia Arab saja, tetapi juga perjuangan kemerdekaan untuk bangsa-bangsa Muslim yang tertindas di mana saja. Bukti praktik cara berpikir itu tampak pula ketika PKI memberontak di Madiun (1948), Tan Malaka dengan Persatuan Perjuangan tetap tidak menjadi bagian dari Muso dan Alimin. Dia dan pasukannya tetap berperang menghadapi agresi Belanda. Maka sangat disayangkan TKR waktu itu kemudian membunuhnya di sebuah desa di Kediri (1949) dan menghilangkan jejaknya dengan sengaja.
Selama 20 tahun berpetualang sebagai orang pelarian dan 10 tahun di Tanah Air, lalu melahirkan gagasan-gagasan brilian, seperti Naar de Republiek Indonesia (1924) yang mendahului Hatta dan Soekarno (Mencapai Indonesia Merdeka, 1930 dan Kearah Indonesia Merdeka, 1932), Madilog, Gerpolek, Merdeka 100%, Dari Penjara ke Penjara, Massa Aksi, Uraian Mendadak, dan puluhan tulisan lainnya, bertumpu pada bagaimana membebaskan bangsanya dari kolonialisme. Tan Malaka tidak hanya bicara, tapi dengan bukti, ia bukanlah pemimpin flamboyan dan gagah di podium, tetapi ia membangun sekolah rakyat di Semarang, Purwokerto, Bandung, Yogyakarta, dan Batavia, selama dua tahun di Jawa sebelum dibuang ke Belanda (1922).
Tan Malaka konsekuen dengan sikapnya yang tidak memercayai politik kompromi (diplomasi) yang dijalankan Hatta dan Syahrir yang hanya menguntungkan Belanda—bagi saya cukup sudah bukti Tan Malaka adalah seorang nasionalis sejati daripada seorang komunis. Kita harus menerimanya bahwa marxisme telah juga dipakai para pejuang yang lain (Soekarno, Hatta, Syahrir, dan lain-lain) dalam memerdekakan bangsa.
Merdeka 100 persen adalah sikap politik dan ekonomi Tan Malaka yang dapat disarankan menjadi bahan bacaan bagi para pemimpin sekarang ini. Berdaulat sepenuhnya secara politik dan ekonomi, artinya bebas dari intervensi kekuasaan dan kekuatan ekonomi asing sebagaimana yang dinyatakan Persatuan Perjuangan di Purwokerto 5 Januari 1946, 62 tahun lalu.
Rakyat Indonesia jangan terancam kemerdekaan dan kemakmurannya. Barang impor tidak harus menyaingi industri dalam negeri. Kalau perlu dilarang sama sekali. Kekayaan penjajah Belanda yang telah berkuasa selama 350 tahun tidak perlu lagi dihiraukan dengan diplomasi, pemerintah haruslah menyita kekayaan itu bagi kemakmuran rakyat. Karena itulah, untuk mengawasi modal asing, kita harus merdeka 100 persen.
Dalam bidang ekonomi, jelas sekali Persatuan Perjuangan/ Tan Malaka mempertanyakan Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Itu secuil contoh konsep kedaulatan politik dan kedaulatan ekonomi Tan Malaka yang selalu aktual sampai sekarang.
Apakah yang dimaksud dengan ”dikuasai” itu adalah dikelola negara? Kalau begitu, apakah kelak negara akan menerima modal asing memasuki perusahaan yang dikuasai negara? Kalau ya, bagaimana kedudukan modal asing itu terhadap negara?
Sejarah telah membuktikan, era Soekarno tanpa/sedikit modal asing, era Soeharto perekonomian dikuasai ”keluarga” dan kapitalis konco (ersatz capitalism), dan era setelah reformasi ekonomi serta bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dijual dan dikuasai modal asing. Rakyat di mana? Pikiran-pikiran Tan Malaka tetap masih relevan untuk dirujuk kembali para pemimpin kita.
Tragedi 49 dan 65 telah lama berlalu, masa yang menyisakan kedukaan bagi seluruh komponen bangsa ini. Tapi benarkah komunisme masih menjadi bahaya laten bagi negeri ini?
Saya memang tidak merasakan masa kelam dimana komunisme masih menjadi kekuatan politik dinegeri ini, cerita-cerita tentang komunisme hanya didapatkan dari film-film dan buku sejarah yang menceritakan bagaimana sadisnya perlakuan kaum komunis terhadap anak bangsa lain yang bersebrangan garis politik, juga dari cerita ayah saya yang pernah dikalungi clurit oleh mereka yang dicap sebagai PKI!.
Membaca cerita-cerita sejarah negeri ini memang rumit dan cenderung buram, tidak jelas dan jernih sesuai fakta sejarah yang terjadi. Kebenaran sejarah terkooptasi kepentingan penguasa yang sedang memerintah negeri ini melalui cetakan-cetakan buku sejarah dan film-film untuk melanggengkan kekuasaannya.
Cap sebagai eks keluarga PKI memang menyakitkan bagi mereka yang tidak terlibat langsung alias hanya sebagai keturunan dari penganut faham komunisme tersebut. Tap MPR yang mengatur masalah faham komunisme masih belum dicabut hingga saat ini dan seharusnya memang tetap seperti itu. Tetapi jangan dijadikan sebagai senjata untuk memberangus femikiran dan aksi yang bersebrangan dengan pemerintah berkuasa.
Tapi kini faham komunisme bukan lagi faham yang menjadi musuh bersama diseluruh dunia, tidak lagi menjadi ancaman serius. Kini dunia beralih mencari musuh utama yang kini sudah didapat yaitu “terorisme” ala Amerika dengan ditandai genderang perangnya dengan runtuhnya gedung WTC.
Baik komunisme dan terorisme (menurut istilah barat) sebenarnya menyisakan PR besar bagi penguasa yaitu masalah keadilan dan kesejahteraan. Tumbuh suburnya faham-faham yang dianggap menyimpang oleh pemerintah berkuasa memang terjadi saat ketimpangan terhadap dua hal tersebut, dan rakyat jelata yang menjadi tulang punggung suburnya yang ditunggangi oleh kaum mapan yang bermain di dua kaki berbeda.
Parahnya pemerintah berhasil memainkan isu “terorisme” dan juga isu “komunisme” sebelumnya untuk melanggengkan kekuasaannya sehingga rakyat seolah melupakan akar masalah sebenarnya tentang keadilan dan kesejahteraan. Rakyat terus menerus disibukkan dengan isu-isu murahan tentang terorisme untuk mengalihkan perhatian terhadap tanggung-jawab pemerintah untuk mensejahterakan rakyat.
Padahal dari dulu hingga kini masalah keadilan dan kesejahteraanlah yang menjadi tuntutan rakyat seluruh negeri, dan keserakahan dan ketamakan para penguasalah yang harus dijadikan musuh bersama dan sebagai “bahaya laten” yang terus mengintai!. Jangan jadikan komunisme dan terorisme menjadi alat pemerintah untuk membungkam gerakan-gerakan rakyat mengidamkan keadilan dan kesejahteraan terjadi di negeri ini.
“Seharusnya bahaya laten itu kini bernama “KORUPSI” bukan PKI (komunisme) juga bukan “TERORISME”!.”
Jumat, 27 November 2009
Diketik ulang dari Brainwashed, Jakarta Extreme Fanzine, June’99, Issue #7.
memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran (hobby) mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum kromo (lemah/miskin). Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah, dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.